BLORA, Sapujagat.net : TIGA momok persoalan di sektor tambang yakni masalah perijinan, pungli dan masalah BBM (Bahan Bakar Minyak) benar-benar nyata terjadi. Tak hanya di skala nasional, tapi juga di tingkat lokal. Seperti di Blora Kabupaten pinggiran perbatasan Jatim-Jateng.
Gara -gara perijinan sulit akhirnya marak tambang minerba (galian C) ilegal. Munculnya tambang ilegal menyuburkan pungutan liar. Dan terakhir, yang juga ikut ‘diilegalkan’ adalah BBMS (Bahan Bakar Minyak Solar) yang digunakan untuk memasok aktivitas penambangan.
Dan dampak langsung akibat tambang ilegal, Pendapat Asli Daerah (PAD) Blora dari sektor tambang jadi memble, kerusakan lingkungan tak lagi bisa terkendalikan.
Karena sudah begitu ‘horor’nya persoalan tambang galian C di Blora menjadikan APTI (Asosiasi Pengusaha Tambang Indonesia) Blora meradang. Merekapun mengadu ke para wakil rakyat di DPRD Blora.
Pengurus DPD APTI Kabupaten Blora, dibawah pimpinan Supriyono dalam audensinya diterima Wakil Ketua DPRD Blora Siswanto dan Ketua dan Anggota Komisi B masing-masing Yuyus Waluyo (Nasdem), Abdullah Aminuddin dan Munawar (PKB), Jayadi (Gerindra), Ir. Siswanto (Golkar).
Inti wadul Pengurus APTI Blora itu minta supaya Perda RTRW No 5 tahun 2021 yang dianggap ‘cacat’ bawaan itu segera direvisi.
Seperti diungkapkan Koordinator Bidang Humas APTI pusat, Bambang Sartono, meminta agar Pemerintah Kabupaten Blora serius untuk menyelesaikan revisi Perda RTRW tersebut, karena menyangkut nasib para pelaku usaha tambang di Blora, dan hilangnya potensi Pendapatan Asli Daerah yang bernilai milyaran rupiah per tahunnya.
“Kami meminta Pemkab dan DPRD Blora serius menyelesaikan revisi perda yang mandul ini, karena nasib usaha penambangan tergantung di sini, ada 18 ijin yang mandek, karena ketidaksesuaian Perda RTRW ini. Akibat yang lain Pemkab Blora melewatkan potensi PAD milyaran rupiah per tahun, akibat dari maraknya pertambangan ilegal, dan ironisnya justru menghancurkan infrastruktur jalan,” beber Bangsar, panggilan akrab mantan wartawan senior Wawasan ini.
Minimnya pajak galian C yang masuk dalam PAD Blora pun terkonfirmasi oleh perwakilan dari Badan Pengelola Pendapatan Keuangan Dan Aset Daerah (BPPKAD) Blora, Meita yang memaparkan nilai perolehan pajak tersebut tahun ini diturunkan dari 25% menjadi hanya 20%, atau dengan nominal sebesar Rp. 120 Juta per tahun ini.
“Tahun ini target pajak galian C kami diturunkan hanya sebesar 20% dari sebelumnya 25%, atau hanya sebesar Rp. 120 Juta per tahun, yang dipungut hanya dari dua pengusaha tambang yang memiliki ijin operasional dari Todanan, kami berharap bisa ditingkatkan jika makin banyak pengusaha tambang yang resmi,” ujar Meita.
Atensi Lebih Besar
Dan itu sungguh ironis pajak yang dipungut hanya dari dua pengusaha tambang resmi memiliki ijin, sementara ada puluhan penambang liar yang bebas mengeruk galian C Blora tanpa membayar pajak. Diduga ada pemberian pungutan liar kepada oknum – oknum yang tidak bertanggungjawab.
Hal itu terbukti, maraknya pertambangan ilegal yang beroperasi di Wilayah Kabupaten Blora, tanpa ada pihak berwenang yang mampu menghentikan, baik itu APH maupun Pemerintah Kabupaten Blora. Semua seakan tutup mata dan telinga melihat kerusakan alam akibat dari pertambangan yang serampangan itu.
Pengamat Ekonomi dan Sosial Blora, Kurnia Adi menyampaikan bahwa tidak ada upaya penghentian tethadap penambangan ilegal oleh Aparat Pemkab maupun APH Blora. Diduga ada atensi yang besar kepada pihak – pihak tersebut, yang nilainya fantastis melebihi dari pungutan pajak oleh BPPKAD. (01)