
BLORA, SAPUJAGAD.NET— Polemik program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Blora memuncak. Draf perjanjian SPPG dengan sekolah memuat denda Rp 80.000 per unit untuk peralatan makan hilang/rusak serta klausul kerahasiaan ketika terjadi kejadian luar biasa—termasuk keracunan.
Ketua Komisi D DPRD Blora Subroto mengecam kedua poin tersebut karena dinilai membebani sekolah dan berpotensi membungkam aduan publik. Kodim 0721/Blora akan menggelar konferensi pers, Senin (22/9) pukul 15.00 WIB, untuk menjelaskan peran TNI dalam pengawasan pelaksanaan MBG.

Subroto menilai skema denda tidak proporsional karena tidak membedakan nilai sendok, tutup, dan tray. Ia juga mengkritik larangan publikasi kasus keracunan di media sosial. “Denda seragam Rp80 ribu saat yang hilang bisa saja sendok itu tidak wajar. Klausul merahasiakan keracunan juga menutup kanal pengawasan publik,” ujarnya dalam audiensi di DPRD Blora.
Di lapangan, DPRD menerima keluhan beban tambahan di sekolah: guru membersihkan ompreng/tray dan siswa diminta membawa kotak bekal untuk sisa makanan. Praktik ini dinilai memindahkan tanggung jawab kebersihan dari penyedia layanan ke sekolah serta berisiko menutupi evaluasi mutu menu.
Subroto mengimbau masyarakat tidak takut memublikasikan menu dan temuan di lapangan sebagai bagian dari fungsi kontrol sosial. Sementara itu, Kodim 0721/Blora menyatakan akan menyampaikan penjelasan resmi mengenai batas dan mekanisme peran TNI dalam koordinasi program MBG pada konferensi pers esok hari.
Bukan Formalitas

Dari sisi nasional, Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menegaskan monitoring internal BGN harus ditingkatkan dan dapur SPPG wajib akreditasi dan verifikasi untuk mencegah keracunan. Ia mengingatkan sarana-prasarana (higiene dapur, sanitasi air, rantai dingin, uji sampel) tidak boleh kalah oleh target “memperbanyak dapur”.
“Kunci pencegahan keracunan adalah akreditasi dan verifikasi dapur SPPG yang independen, bukan sekadar check-list administratif.” kata Edy Wuryanto.
Ia menekankan standar sarana-prasarana—higiene dapur, sanitasi, rantai dingin, hingga uji sampel—harus menjadi prioritas, bukan sekadar mengejar jumlah dapur.

Sementara TNI beberapa kali membuka ruang koordinasi untuk kelancaran distribusi MBG. Namun polemik kini menuntut kejelasan batas peran: apakah Kodim sebatas fasilitasi keamanan, ketertiban, dan koordinasi lintas-stakeholder, atau juga mengawasi standar operasional pangan yang sebenarnya domain Dinas Kesehatan dan BGN.
“Kami mengundang rekan-rekan media untuk menghadiri konferensi pers ini. Kami berharap kehadiran dan liputan dari rekan-rekan media dapat membantu menyebarluaskan informasi yang penting bagi masyarakat.” jelas Sertu Ragil, Penerangan Kodim 0721 dalam undangan kepada wartawan yang dikirim via Whatsap.
Konferensi pers 22/9/2025 menjadi momentum menegaskan mandat, alur koordinasi saat KLB, dan mekanisme respon cepat tanpa mengaburkan akuntabilitas teknis.
MBG adalah investasi gizi untuk masa depan anak-anak. Investasi akan gagal jika tata kelola mengorbankan transparansi dan memindahkan beban ke sekolah. Blora punya peluang memperbaiki: hapus klausul bermasalah, perkuat akreditasi dapur, buka data mutu, dan perjelas peran pengawas—termasuk TNI—agar program bukan sekadar berjalan, tetapi dipercaya dan aman bagi semua anak. (red/@bangsar25)












Leave a Reply