
NGAWEN, SAPUJAGAD.NET– Kasus dugaan perzinahan yang berujung bigami antara dua perangkat desa di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Blora, menyeret nama SP Sekretaris Desa Gedebeg, dan SW, Kaur Tata Usaha Desa Sambongejo.
Perselingkuhan keduanya berlanjut ke pernikahan siri meski SP masih memiliki istri sah, SM Lebih jauh, hubungan itu telah melahirkan seorang anak.
Namun ironisnya, meski kasus ini sudah menjadi rahasia umum, hingga kini tak ada sanksi tegas dari Pemkab Blora. Diamnya pemerintah daerah menimbulkan kesan adanya pembiaran, sekaligus membuka ruang pertanyaan besar tentang komitmen penegakan etika aparatur desa.
Fakta Perselingkuhan dan Nikah Siri
Warga Gedebeg Ngawen menyebut, isu hubungan terlarang ini sudah berlangsung lama. “Semua orang tahu, bahkan mereka sudah punya anak. Tapi tetap kerja seperti biasa, seolah tidak ada masalah,” ungkap seorang warga Gedebeg.
Informasi lain menyebut, meski pemerintah desa setempat sudah membentuk tim dan melaporkan hasil kajiannya ke camat serta Bupati Blora, proses tindak lanjut berhenti di tengah jalan. Hasilnya mengambang, tanpa kejelasan sanksi.
Aturan Jelas, Mengapa Tak Ditegakkan?
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan gamblang menyebut praktik bigami sebagai tindak pidana:
Pasal 279 KUHP: barang siapa yang melakukan pernikahan baru tanpa membubarkan pernikahan sah sebelumnya, dipidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 280 KUHP: barang siapa menikahkan seseorang yang masih terikat pernikahan, dipidana penjara paling lama 4 tahun.
Artinya, meski tanpa laporan istri sah, aparat penegak hukum tetap bisa bertindak jika ada bukti kuat. Kasus SP–SW seharusnya bisa diproses hukum sekaligus mendapat sanksi administratif dari Pemkab Blora.
Ketimpangan Penegakan Aturan
Kasus ini kian mencolok bila dibandingkan dengan perkara mantan Kepala Desa Sendangharjo, Wiwik Suhendro, yang diberhentikan akibat kasus serupa bersama Diana Susanti. Waktu itu Pemkab Blora tegas mengambil langkah. Namun kini, ketika perangkat desa yang terjerat, sikap tegas itu tiba-tiba hilang.
“Kalau kepala desa bisa dicopot, mengapa perangkat desa yang jelas-jelas menikah siri dan punya anak malah dibiarkan? Ini jelas ketidakadilan,” kritik salah seorang tokoh masyarakat Ngawen.
Krisis Integritas Aparatur Desa
Praktisi hukum menilai kasus ini bukan sekadar urusan pribadi, melainkan pelanggaran serius norma hukum dan etika pemerintahan. “Perangkat desa adalah wajah negara di tingkat lokal. Kalau perilakunya amoral dan dibiarkan, bagaimana masyarakat bisa percaya pada pemerintah?” tegasnya.
Diamnya Pemkab Blora membuat publik menilai citra pemerintahan tercoreng. Lebih jauh, hal ini berpotensi menjadi preseden buruk: bahwa aparatur desa boleh melanggar aturan moral tanpa konsekuensi, selama ada pembiaran dari atas
Menuntut Keadilan
Warga Desa Gedebeg dan Sendangrejo kini mendesak agar pemerintah daerah turun tangan. Mereka tidak ingin kasus ini sekadar menjadi gosip desa tanpa penyelesaian. “Kalau rakyat kecil berbuat salah langsung ditindak. Tapi ini perangkat desa, kok dibiarkan. Apa hukum hanya untuk orang kecil?” keluh warga lain.
Kades Gedebeg Sumarwan yang dikonfirmasi wartawan mengatakan, pihaknya sudah membuat laporan ke Pemerintah Kecamatan, dan Pemkab Blora. Namun sampai saat ini belum ada kejelasan dari laporannya.(Red/01)
Leave a Reply