
BLORA, SAPUJAGAT. NET : Tak ada penjualan miras tanpa izin, tak ada kafe dan karaoke ilegal di Blora, asal Perda benar-benar hidup dan hukum tidak mandek di meja rapat. Satirnya, perda sering hanya selembar kertas indah di laci, sementara botol-botol beralkohol tetap bersiul di balik gemerlap lampu malam.
- “Kami menemukan betapa liarnya miras beredar. Karaoke tak berizin, hotel ilegal, hingga miras oplosan dijual bebas. Ini sudah darurat miras, mengancam generasi muda. Kami berharap Ketua DPRD dan seluruh anggota dewan tidak hanya mendengarkan, tapi bertindak,” tegas Cekrek, Koordinator MPPUN, dengan nada penuh penekanan.
Keresahan itu pecah di ruang paripurna DPRD Blora, Kamis (23/10/2025). Sejumlah aktivis dari LSM MPPUN (Masyarakat Pengawas dan Pemantau Uang Negara) datang membawa data dan nada getir.
- Dari kursi yang sama, Sugeng, perwakilan masyarakat, menambahkan: “Pertemuan ini jangan sekadar seremonial. Kami butuh solusi konkret. Miras ilegal sudah jadi sumber kerusakan moral, rusaknya keluarga, dan rusaknya ketertiban umum.”
Fakta Lapangan
Tahun 2025 bukan tanpa aksi. Polres Blora mencatat beberapa kali razia yang menyita ratusan botol miras dari berbagai titik—mulai dari warung kecil hingga tempat hiburan malam di Sambong dan Cepu. Beberapa lokasi disegel, sebagian lainnya diberi teguran keras.
Namun efeknya baru terasa sesaat; seminggu kemudian, beberapa tempat kembali buka dengan modus baru—papan nama diganti, pintu ditutup separuh.
- “Artinya, hukum belum punya taring,” komentar salah satu aktivis yang ikut audiensi di DPRD. “Kalau benar ditegakkan, tak ada lagi miras ilegal di Blora.”
Blora sejatinya memiliki Perda No. 5 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan dan Perda No. 1 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum. Keduanya cukup jelas mengatur larangan operasional hiburan tanpa izin dan sanksi bagi pelanggar.
Sayangnya, perda sering berhenti pada level wacana, bukan tindakan. “Perda tanpa penegakan ibarat rumah tanpa pintu—siapa pun bisa keluar masuk seenaknya,” ujar salah satu aktivis dalam audiensi.
Dari Geram Menjadi Gerak
Ketua DPRD Blora Mustopa yang bersama anggota Komisi DPRD Blora yang menerima audiensi menegaskan akan menindaklanjuti laporan masyarakat. Ia menilai langkah ini penting untuk menjaga moralitas dan ketertiban.
- “Kami tidak akan diam. Semua laporan masyarakat harus kami jawab dengan tindakan bersama, lintas-instansi. Hukum harus hadir di jalan, bukan di spanduk,” ujarnya tegas.
Publik pun menanti langkah konkret—mulai dari operasi terpadu bulanan Satpol PP dan Polres, pembinaan izin usaha hiburan, hingga penegakan sanksi berlapis: teguran, denda, penyegelan, bahkan pidana bila perlu.
Di balik isu hukum dan ekonomi, ada wajah-wajah muda yang mulai terpapar. Guru-guru di sejumlah SMA di Blora mengaku prihatin melihat siswa yang mulai terbiasa dengan konsumsi miras oplosan murah.
- “Kami sering temukan anak-anak dengan gejala mabuk ringan di luar jam sekolah. Ini bukan sekadar kenakalan, tapi sinyal darurat sosial,” kata seorang guru yang ikut hadir mendengar audiensi.
Jika rekomendasi hasil audiensi dijalankan serius, Blora bisa menapaki babak baru: daerah yang menolak tunduk pada “ekonomi malam” yang merusak. Skenarionya sederhana—tegakkan perda, beri ruang bagi pelaku usaha taat hukum, dan hentikan praktik gelap yang selama ini menodai nama kota.
- “Kami tidak anti hiburan,” ujar Cekrek menutup audiensi. “Tapi kami anti pembiaran. Hukum dibuat untuk dijalankan, bukan dilupakan.”
Blora tak kekurangan aturan, tak kekurangan aparat, dan tak kekurangan kesadaran publik. Yang kurang hanyalah keberanian untuk menegakkan hukum secara konsisten.
Kalimat satir di awal tulisan akhirnya menemukan jawabannya: Tak ada miras ilegal, tak ada kafe dan karaoke tanpa izin di Blora—asal Perda dan hukum benar-benar berjalan, bukan berjalan di tempat. (Yeyek/01)












Leave a Reply