Beras warna kuning dijual Warga karena kualitas buruk

BLORA, SAPUJAGAD.NET : Skandal kualitas bantuan pangan kembali mencuat. Di Blora, Jawa Tengah, beras bantuan sosial (bansos) seberat 10 kilogram yang dibagikan pemerintah justru dijual kembali oleh warga ke pasar tradisional karena dianggap tak layak konsumsi.
Warnanya kekuningan, banyak yang pecah, bahkan dipakai pedagang untuk pakan ternak. Kondisi ini menelanjangi buruknya pengawasan mutu dan me Program bantuan pangan berupa beras kembali menjadi sorotan.
Di saat semangat pemerintah meringankan beban masyarakat, fakta di lapangan justru menunjukkan problem baru: beras bantuan yang seharusnya dikonsumsi, malah dijual kembali oleh penerima karena kualitasnya dianggap buruk.
Di Pasar Tradisional Sido Makmur, Blora, Jawa Tengah, para pedagang mengungkap bahwa mereka menerima pasokan beras dari warga yang menjual beras bantuan tersebut dalam jumlah besar. “Warnanya kekuningan, banyak yang pecah. Saya beli Rp10 ribu per kilogram. Ada warga yang jual sampai 80 kilogram,” ungkap seorang pedagang, yang mengaku kini hanya memanfaatkan beras itu untuk pakan ternak.
Tak SejalanHarapan
Program bantuan pangan yang disalurkan dalam bentuk beras 10 kilogram per keluarga ini sejatinya dirancang untuk menjaga ketahanan pangan warga berpenghasilan rendah. Namun, kenyataan bahwa beras tersebut tidak layak konsumsi manusia membuat efektivitas program patut dipertanyakan.
“Kalau warga menjual beras yang seharusnya dimakan, itu artinya mereka tidak mendapat manfaat apapun dari program ini,” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat. Ia menilai, distribusi bansos tak boleh hanya kuantitatif, tapi juga harus menjamin mutu pangan.
Dari catatan media portal media ini, bukan kali pertama isu kualitas bansos beras mencuat. Namun di Blora, skala keluhan warga mulai mengindikasikan adanya masalah sistemik. Beras dengan butiran patah, warna kusam, dan aroma tak sedap dinilai bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi potensi kegagalan dalam proses pengadaan dan pengawasan kualitas di tingkat penyalur.
Salah satu warga di Kelurahan Kauman mengaku, “Berasnya tidak layak. Ketika dimasak, airnya jadi keruh dan rasanya aneh. Kami pilih jual saja daripada mubazir.”
Penyalur dan Pemerintah Perlu Jawab
Pertanyaan publik kini mengarah ke siapa pihak yang bertanggung jawab atas mutu bansos ini. Apakah permasalahan berasal dari Bulog sebagai penyedia stok, dari rekanan distribusi, atau lemahnya kontrol kualitas sebelum penyaluran?
Hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah daerah Blora maupun pihak penyalur bantuan mengenai evaluasi mutu beras yang diterima masyarakat. Sementara itu, kekosongan stok beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) juga terjadi di Blora, memperparah kesulitan masyarakat di tengah naiknya harga beras di pasaran..
Bantuan yang Menyisakan Masalah
Bantuan pangan seharusnya menjadi penyambung harapan di tengah tekanan ekonomi. Namun jika kualitasnya buruk, tidak hanya gagal membantu, tapi juga menambah beban. Warga miskin yang seharusnya terbantu justru menghadapi pilihan sulit: menerima pangan yang tidak layak, atau menjualnya demi uang tunai.
Kasus di Blora ini menjadi alarm keras bahwa pengawasan mutu bansos bukan sekadar prosedur administratif, tapi soal martabat dan hak dasar warga untuk mendapat makanan layak. Pemerintah pusat dan daerah mesti merespons secara konkret, bukan sekadar retorika.ngkhianati tujuan bantuan pangan yang seharusnya menyelamatkan rakyat kecil dari kelaparan. (RED/01)












Leave a Reply