
BLORA, SAPUJAGAD.NET – Di balik gegap gempita promosi Kabupaten Blora sebagai “kabupaten organik”, terdapat potret buram yang mencoreng wajah pembangunan daerah. Sejumlah gedung bank sampah di Kecamatan Jepon, Tunjungan, Cepu, dan wilayah lain yang menelan anggaran ratusan juta rupiah kini mangkrak, terbengkalai tanpa fungsi.
Alih-alih menjadi pusat pengelolaan sampah terpadu dan penggerak ekonomi sirkular warga desa, bangunan-bangunan itu justru menjadi simbol kegagalan perencanaan.
MASYARAKAT KECEWA

Hasil pantauan di lapangan memperlihatkan gedung-gedung tersebut kosong tanpa aktivitas. Cat dinding mulai kusam, halaman ditumbuhi ilalang, dan fasilitas yang dibangun tidak dimanfaatkan. sehingga mengundang kekecewaan mendalam masyarakat.
“Kami sangat kecewa dengan kondisi ini. Gedung dibangun dengan uang rakyat, tapi tidak dimanfaatkan. Padahal, keberadaan bank sampah sangat penting untuk mengatasi masalah sampah di desa kami,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kritik keras pun diarahkan pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Blora yang dianggap gagal mengoperasikan sarana tersebut. “Pemerintah hanya bisa membangun, tapi tidak bisa memelihara dan mengoptimalkan,” ujar warga lainnya.
POTRET BURAM
Kondisi mangkraknya bank sampah jelas berbanding terbalik dengan narasi besar Pemkab Blora yang gencar menggaungkan diri sebagai kabupaten organik. Bupati Arief Rohman bahkan tampil di forum internasional, Organic Districts Congress (ODC) ke-3 di Datong, Tiongkok, membawa nama Blora dalam jajaran global.
Di tingkat lokal, Pemkab bersama TNI melalui peran Babinsa dan Koramil juga menggelar lomba pertanian organik, program GESEKKU (Gerakan Sedekah Kotoran Sapi), hingga mendorong lahirnya regulasi tentang pertanian organik. Namun ironinya, fasilitas pengelolaan sampah yang merupakan elemen kunci dalam rantai pertanian organik justru tidak berjalan.
Bank sampah seharusnya menjadi instrumen penting: mengurangi volume sampah plastik, menyediakan bahan kompos, dan menopang program pupuk organik mandiri. Mangkraknya bangunan ini menegaskan lemahnya koordinasi antarorganisasi perangkat daerah.
Blora berhasil menggandeng internasional untuk branding, namun gagal membumikan kebijakan di tingkat desa. Ironi ini menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah Blora lebih sibuk menjual citra organik ke luar negeri ketimbang menata pondasi di dalam negeri?
HARUS TURUN TANGAN

Kondisi gedung mangkrak ini tidak hanya soal kegagalan pengelolaan, namun juga memunculkan dugaan adanya penyelewengan anggaran. Dengan nilai pembangunan yang mencapai ratusan juta rupiah per lokasi, publik menuntut transparansi penuh atas perencanaan, pelaksanaan, hingga tindak lanjut proyek.
Masyarakat menilai, sudah saatnya Inspektorat Kabupaten Blora maupun Aparat Penegak Hukum (APH) turun tangan melakukan audit investigasi. Jika terbukti ada indikasi korupsi atau penyalahgunaan wewenang, maka penegakan hukum wajib dilakukan agar tidak terjadi pemborosan anggaran negara yang berulang.
Kegagalan menghidupkan bank sampah bukan sekadar soal fasilitas mangkrak, tapi bukti nyata bahwa komitmen pertanian organik tanpa dukungan ekosistem nyata hanya akan jadi jargon politik. Dibutuhkan evaluasi serius atas tata kelola program, transparansi penggunaan anggaran, dan komitmen kuat agar fasilitas publik benar-benar memberi manfaat.
Blora saat ini berdiri di persimpangan: antara menjadikan “kabupaten organik” sebagai slogan atau membangun sistem yang berkelanjutan dari tingkat desa. Jika bank sampah saja tak terurus, sulit membayangkan bagaimana visi besar organik bisa benar-benar berakar di masyarakat. (SW/@bangsar24)















Leave a Reply