
BLORA, SAPUJAGAD.NET–Alih-alih menjadi solusi pengelolaan sampah, proyek rumah sampah di Blora bernilai ratusan juta rupiah justru mangkrak. Minimnya transparansi DLH memperkuat indikasi adanya penyalahgunaan anggaran.
Sebagaimana yang pernah diberitakan di Portal Sapujagad. Net sebelumnya, puluhan bangunan Gedung Rumah Sampah yang tersebar di beberapa wilayah di Kab. Blora dibiarkan mangkrak, tanpa fungsi, tanpa laporan jelas.

Kondisi ini kian memperkuat dugaan adanya penyimpangan anggaran, sekaligus menampar ambisi Pemkab Blora yang tengah gencar membangun citra sebagai “Kabupaten Organik”.
Di Kecamatan Ngawen, rumah sampah bernilai Rp 500 juta yang rampung beberapa tahun lalu kini hanya menyisakan bangunan kosong. Mesin pengolah sampah yang seharusnya menjadi tulang punggung pengelolaan limbah organik tak pernah beroperasi.
Seiring waktu, peralatan itu terancam berubah menjadi rongsok. Fenomena ini bukan satu-dua kasus, melainkan juga terjadi di sejumlah desa lain.
“Dulu kami sempat berharap gedung itu bisa membantu mengurangi sampah. Tapi nyatanya, sejak selesai dibangun, pintunya terkunci, tidak pernah ada aktivitas. Sekarang malah jadi sarang nyamuk,” ujar warga desa di sekitar bangunan rumah sampah dengan nada kecewa.
Branding Organik Jadi Kontraproduktif

Slogan “Blora Kabupaten Organik” yang digaungkan pemerintah daerah menjadi kontraproduktif. Bagaimana mungkin bicara soal pertanian berkelanjutan jika pengelolaan sampah—pondasi dasar dari konsep organik—tak berjalan? Alih-alih memperkuat citra, proyek mangkrak ini justru memperlihatkan lemahnya tata kelola lingkungan di daerah.
“Kalau sampah saja tidak dikelola, bagaimana bisa bicara pertanian organik? Itu hanya jargon. Faktanya, gedung berdiri tapi tak jelas pemanfaatannya ,” tambah warga sekitar lokasi bangunan rumah sampah.
DLH Blora Minim Data, Publik Semakin Ragu
Kepala DLH Blora, Istadi Rusmanto, saat dikonfirmasi hanya menyampaikan jawaban normatif. Ia berterima kasih atas masukan, menjanjikan tim akan turun untuk evaluasi lapangan, dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat. Dikatakan persoalan sampah butuh perubahan pola pikir masyarakat.
Namun hingga kini, publik tidak pernah mendapat laporan detail terkait penggunaan anggaran, progres program, maupun rencana tindak lanjut. Jawaban tanpa data ini menambah kecurigaan bahwa proyek rumah sampah memang sejak awal tidak dikelola serius.
Mangkraknya gedung bernilai ratusan juta rupiah, ketiadaan laporan resmi, serta mesin yang membisu di lapangan, menjadi indikasi kuat adanya penyimpangan penggunaan anggaran. Jika tidak ada langkah tegas dari Inspektorat maupun aparat penegak hukum, proyek ini berisiko menjadi kuburan dana publik.
Kasus rumah sampah mangkrak di Blora bukan sekadar potret buruk manajemen proyek, melainkan juga sinyal lemahnya pengawasan internal. Di tengah gembar-gembor branding Kabupaten Organik, publik menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keberanian pemerintah membuka data penggunaan anggaran. Tanpa itu, Blora hanya akan dikenal sebagai daerah yang pandai membuat slogan, tetapi gagal mengelola realitas di lapangan. (wang/@bangsar25)
Leave a Reply