Liputan Seto Biro WJI Jambi
JAMBI, WJI NET WORK.Konflik lahan antara Suku Anak Dalam dan PT BSU di Batanghari, Jambi, bukan hanya tragedi agraria — ia adalah jejak rusaknya relasi antara manusia, hutan, dan negara.

Ketika tanah adat seluas 236 hektare direbut diam-diam oleh kekuasaan modal, dan pemerintah memilih tak hadir, maka yang terancam bukan cuma identitas adat, tapi ekosistem dan masa depan generasi mendatang.
Ketua Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Provinsi Jambi, Mappangara HK, melontarkan kecaman tajam terhadap Pemerintah Kabupaten Batanghari yang dinilai tidak menunjukkan itikad serius dalam menyelesaikan konflik lahan seluas 236 hektare antara Suku Anak Dalam (SAD) pimpinan Datuk Alib dan korporasi perkebunan PT Berkat Sawit Utama (BSU).
“Pemerintah seolah tutup mata dan telinga. Surat kami tidak dijawab, warga adat dibiarkan hidup dalam tenda. Ini bukan sekadar konflik lahan, ini soal martabat dan keadilan,” ujar Mappangara dalam pernyataan usai pertemuan investigasi, Sabtu (3/5/2025).
Lahan di luar HGU
Sejak Desember 2023, kelompok SAD terus melakukan aksi damai dengan mendirikan tenda-tenda di atas tanah yang mereka klaim sebagai hak ulayat di wilayah Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari.
Fakta hukum yang diperoleh LCKI, termasuk surat pernyataan tertanggal 5 Desember 2006 dari manajemen PT Asiatic Persada (kini BSU), memperjelas bahwa lahan tersebut berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Namun ironisnya, hingga hampir dua tahun berselang, tidak ada kebijakan konkret dari Pemkab Batanghari. LCKI mengaku telah melayangkan sejumlah surat resmi kepada bupati, namun tak satu pun direspons. Kritik pun dilontarkan tajam:
“Di mana negara saat rakyatnya meminta perlindungan? Apakah tanah hanya berarti bila ada korporasi yang menguasainya? SAD punya hak sejarah dan moral atas tanah itu,” tegas Mappangara.
Peninjauan Kembali
Berbeda halnya dengan Polda Jambi yang dinilai menunjukkan keseriusan. Direktorat Reserse Kriminal Umum telah menyelidiki kasus ini, bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jambi.
Bahkan, LCKI telah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dan menjadwalkan peninjauan lokasi sengketa dalam waktu dekat.
“Kami mendukung langkah hukum yang dilakukan aparat kepolisian dan BPN. Tapi jangan biarkan masyarakat adat menunggu tanpa kepastian. Mereka manusia, bukan angka statistik,” kata Anton, anggota tim investigasi.
Ketidakadilan terhadap masyarakat adat bukan hanya pelanggaran sosial, tetapi juga indikasi lemahnya komitmen daerah dalam menegakkan hak-hak warga marginal.
Lahan ulayat bukan sekadar bidang tanah, melainkan bagian dari identitas dan keberlangsungan hidup Suku Anak Dalam.
Konflik ini mencerminkan wajah buram otonomi daerah yang tersandera oleh kepentingan modal. Ketika negara absen, dan korporasi diistimewakan, maka yang tertinggal hanyalah tenda-tenda rapuh, berdiri di atas tanah yang entah milik siapa — tetapi jelas bukan milik keadilan. (01)
