Bagus, Wartawan Sapujagad.Net
SEMARANG, WJI NETWORK : Di tengah keterbatasan APBD dan warisan utang pinjaman sebelumnya yang belum tuntas, Pemerintah Kabupaten Blora kembali menandatangani pinjaman jumbo Rp 215 miliar dari Bank Jateng.

Digadang-gadang sebagai percepatan pembangunan infrastruktur, publik justru menyorot: apakah ini langkah berani atau lonceng peringatan bagi stabilitas fiskal Blora?
Pemerintah Kabupaten Blora kembali menempuh langkah besar dan berani. Pada Jumat (9/5), Bupati Blora Dr. H. Arief Rohman, S.IP., M.Si. bersama Direktur Utama Bank Jateng, Irianto Harko Saputro, menandatangani kesepakatan pinjaman daerah sebesar Rp 215 miliar.
Ini adalah kali kedua Pemkab Blora menjalin kerja sama kredit daerah setelah pinjaman serupa senilai Rp 150 miliar pada 2022.
Langkah ini disebut sebagai
“strategi percepatan pembangunan infrastruktur” oleh pihak pemerintah daerah.
Namun di balik penandatanganan yang penuh seremoni itu, sejumlah kalangan mulai mempertanyakan: apakah Blora benar-benar siap menanggung utang jangka menengah ini?.
Dan bagaimana memastikan bahwa pinjaman tersebut betul-betul menghasilkan dampak pembangunan yang nyata, bukan hanya tumpukan kewajiban fiskal di masa depan?
Konstelasi Pinjaman
Menurut Dirut Bank Jateng, Irianto Harko Saputro, pinjaman daerah ini terdiri dari dua skema:
Rp 10 miliar untuk kebutuhan likuiditas jangka pendek anggaran 2025.
Rp 205 miliar untuk pembangunan 41 ruas jalan strategis yang akan dikerjakan tahun ini dan mulai dilunasi pada 2026 hingga 2028.
“Tujuannya bukan hanya memperbaiki infrastruktur fisik, tetapi juga mendorong roda ekonomi masyarakat, memperkuat pelaku usaha lokal, dan mempercepat pelayanan publik,” ujar Irianto.
Bukan Sekadar Utang, Tapi Investasi
Bupati Arief Rohman menegaskan bahwa pinjaman ini telah melalui proses seleksi lembaga keuangan yang transparan.
Dari empat lembaga yang mengajukan, Bank Jateng menempati peringkat tertinggi berdasarkan rekomendasi Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP).
“Kami tidak ingin pembangunan lambat karena alasan keterbatasan anggaran. Dengan pinjaman ini, kita bisa menyelesaikan permasalahan jalan, yang selama ini jadi keluhan masyarakat,” katanya.
Arief menambahkan bahwa infrastruktur jalan akan menopang agenda besar lain: ketahanan pangan.
Saat ini Blora berada di peringkat 6 produksi padi dan peringkat 2 untuk jagung di Jawa Tengah.
Dengan akses jalan yang baik, distribusi hasil pertanian diperkirakan akan lebih efisien dan mendongkrak pendapatan petani.
Meski semangat pembangunan patut diapresiasi, publik belum lupa bahwa pinjaman sebelumnya sebesar Rp 150 miliar pada 2022 juga menimbulkan tanda tanya.
Beberapa proyek jalan masih belum tuntas atau kualitas pengerjaannya diragukan. Pengawasan terhadap pelaksanaan proyek dinilai lemah, bahkan beberapa kelompok masyarakat sipil menyebut minimnya keterlibatan publik dalam pengawasan anggaran pinjaman tersebut.
“Blora harus belajar dari pinjaman terdahulu. Proyeknya jangan hanya selesai di atas kertas, tapi harus bisa dilihat, disentuh, dan dinikmati rakyat,” kata Dian Kusuma, Koordinator Forum Transparansi Pembangunan Daerah (FTPD) Blora.
Tak jadi Bom Waktu
Pinjaman daerah memang legal dan diatur oleh Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Namun, para ekonom memperingatkan agar jangan terjebak pada euforia pembiayaan eksternal tanpa perencanaan dan manajemen risiko yang matang.
“Jika APBD Blora tidak disiapkan dengan baik, bisa terjadi kekacauan fiskal dalam 3 tahun ke depan. Jangan sampai belanja pembangunan hari ini, jadi beban utang anak-anak Blora esok hari,” tegas seorang pengamat ekonomi di Blora.
Harapan vs Realitas
Di atas kertas, pinjaman Rp 215 miliar ini tampak menjanjikan: infrastruktur membaik, ekonomi lokal menggeliat, dan pelayanan publik meningkat. Namun realitas lapangan akan menjadi ujian sesungguhnya bagi Pemkab Blora.
Masyarakat kini tidak hanya menunggu proyek dimulai, tapi juga ingin melihat bukti manfaat nyata dan tata kelola yang profesional.
“Bukan besar kecilnya pinjaman yang penting, tapi sebesar apa manfaatnya bagi rakyat,” tutup seorang tokoh masyarakat dari Cepu.
Dengan langkah ini, Pemkab Blora menaruh taruhan besar atas nama percepatan pembangunan.
Namun publik menuntut satu hal: jangan utangi masa depan rakyat jika manfaatnya hanya dinikmati segelintir elite.
Pinjaman adalah alat. Hasilnya bisa jadi berkah pembangunan — atau justru lubang fiskal yang menelan harapan. [01)
