Liputan : Wartawan Sapujagad.Net Semarang
SEMARANG, WJI.NETWORK : Alih-alih menjadi ruang aman bagi kebebasan berekspresi, peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Semarang, Jawa Tengah, justru diwarnai oleh represi aparat yang dinilai brutal.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) melaporkan sedikitnya 18 mahasiswa ditangkap, sejumlah lainnya mengalami luka dan trauma akibat tembakan gas air mata, semprotan water cannon, serta tindakan kekerasan fisik oleh aparat, Kamis (1/5/2025).
Dalam keterangannya, YLBHI mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang. Menurut mereka, aksi pembubaran massa terjadi sekitar pukul 17.30 WIB, saat mahasiswa dan buruh tengah melakukan unjuk rasa damai di kawasan Pleburan. Tidak hanya dibubarkan paksa, para mahasiswa juga dikejar hingga ke dalam kampus Universitas Diponegoro (Undip) Pleburan.
“Brutalitas dan represivitas yang dilakukan aparat kepolisian menimbulkan ketakutan massal. Banyak mahasiswa mengalami sesak napas, pemukulan, hingga kehilangan barang pribadi seperti sepeda motor,” tulis YLBHI dalam pernyataan resminya.
YLBHI juga menuding aparat bekerja sama dengan ratusan preman sipil yang disebut ikut mengepung kampus Undip pada malam harinya. Sekitar 400 mahasiswa disebut berlindung di lingkungan kampus untuk menghindari kejaran.
Desakan Pecat Kapolrestabes Semarang
Tak berhenti pada kecaman, YLBHI secara tegas mendesak pencopotan Kapolrestabes Semarang dan penarikan seluruh aparat serta preman dari kawasan kampus. Mereka menyatakan bahwa pengepungan kampus adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kebebasan akademik dan hak sipil.
“Kami menuntut agar seluruh mahasiswa yang ditangkap segera dibebaskan tanpa syarat dan hentikan segera segala bentuk intimidasi terhadap massa aksi,” tegas YLBHI.
Di sisi lain, Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Arianto mengonfirmasi adanya pengamanan terhadap sejumlah orang yang dituding terlibat dalam aksi anarkis. Ia menyebut kelompok mahasiswa tersebut diduga berafiliasi dengan kelompok anarko dan melakukan tindakan pelemparan hingga pembakaran, meski belum disertai bukti visual yang diklarifikasi secara resmi.
“Aksi mereka sudah melampaui batas penyampaian pendapat. Kami hanya membubarkan sesuai prosedur untuk menjaga ketertiban umum,” kata Arianto.
Insiden ini menandai kegagalan negara dalam menjamin hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum secara damai. Alih-alih melindungi, aparat justru menjadi aktor dominan dalam kekerasan terhadap sipil.
Dengan laporan yang terus menguat, tuntutan terhadap evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan aparat dalam menangani aksi massa semakin tak terbendung.
Apakah negara masih berpihak pada rakyat pekerja, atau justru menempatkan mereka sebagai ancaman? Pertanyaan ini kini menggema di tengah upaya publik mempertahankan ruang demokrasi yang kian menyempit. (01)
