
BLORA, SAPUJAGAD.NET – Semangat Presiden Prabowo Subianto dalam mencanangkan Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes) sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan di Klaten pada 21 Juli 2025 lalu, tampaknya belum sepenuhnya terinternalisasi hingga ke desa-desa. Salah satunya terlihat dalam rapat sosialisasi dan sinergitas pengembangan ekonomi di Desa Tunjungan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora.

Alih-alih sudah siap menjalankan program strategis, pengurus kelembagaan desa justru masih berkutat pada persoalan klasik: kebingungan arah usaha dan minimnya modal. Ironisnya, itu justru terjadi di desa dengan potensi alam yang luar biasa: Waduk Greneng, kebun buah produktif, hingga pasar desa yang hidup.
Kopdes Masih Bayangan, Bukan Gerakan
Ketua Kopdes Merah Putih Tunjungan, Saiful Amri, menyampaikan dengan jujur bahwa koperasi yang ia pimpin masih dalam tahap penguatan kelembagaan, tanpa strategi bisnis konkret. Ia menyebut bahwa tidak ada bantuan modal dari pemerintah, baik pusat maupun daerah. Semua bersandar pada simpanan anggota.
“Modal usaha kami berasal dari simpanan pokok, wajib, dan sukarela. Kalau mau mengajukan pinjaman ke Bank Himbara senilai Rp 3 miliar, pertanyaannya sederhana: siapa yang bertanggung jawab, siapa yang berani menjaminkan, dan dari mana agunannya?” ujar Amri, mantan Komisioner KPUD Blora itu, dengan nada prihatin.
Menurut Amri, banyak pengurus Kopdes di berbagai daerah mengalami dilema serupa. Visi besar dari pusat, nyatanya tidak dibarengi dengan kebijakan afirmatif di level bawah.
Bumdes Sudah Bergerak, Tapi Belum Melompat
Sementara itu, Bumdes Tunjungan menunjukkan geliat yang lebih konkret. Mereka telah mengelola tiga sektor usaha: kios dan pasar desa, pengelolaan sampah, serta program Pamsimas. Namun Ketua Bumdes mengakui perlunya arah baru agar usaha tidak stagnan dan tidak hanya mengandalkan sektor-sektor rutin.
“Kami ingin berkembang lebih luas, tapi tetap menjaga agar tidak bersaing dengan warga. Apa ide yang bisa mengangkat desa tanpa menyingkirkan pelaku usaha kecil yang sudah ada?” tanyanya kepada peserta dialog.
Kepala Desa Tunjungan, Yasir Amma, ST, mengambil langkah tak lazim: ia mengundang sejumlah pemimpin media lokal untuk turut memberi saran langsung kepada pengurus Kopdes dan Bumdes.
“Kami tidak ingin jalan sendiri. Teman-teman media kami hadirkan, karena mereka bisa membantu dari sisi pemetaan potensi dan juga mengawal arah pengembangan yang realistis, bukan sekadar wacana elite,” ujar Yasir di hadapan forum.
Waduk Greneng, Ikon Terlupakan
Potensi Waduk Greneng menjadi sorotan tajam dalam diskusi. Bambang Sartono, Pemimpin Umum Opinipublik.co menyayangkan belum adanya roadmap konkret untuk menjadikan Waduk Greneng sebagai poros wisata dan perikanan modern.
“Waduk Greneng bukan hanya soal air danau. Ini kawasan yang bisa mengintegrasikan perikanan air tawar, wahana air, hingga agrowisata buah di kawasan LMDH. Masak hanya jadi tempat memancing diam-diam?” cetus wartawan senior yang akrab disapa Bangsar itu.
Ia juga menyoroti pentingnya konektivitas antar desa wisata seperti Kalangan, Sambongrejo, dan Kedungrejo.
“Kita tidak perlu bersaing antar desa. Justru buat klaster wisata desa. Dan yang mengawal itu siapa? Ya jaringan media juga harus ikut menarasikan,” tambahnya.
Usulan Wisata Cemoro 7 dan Gazebo Pemancingan
Roy Kurniadi, Pemimpin Umum Monitor Ekonomi, menghidupkan kembali gagasan revitalisasi Cemoro 7, lokasi eks wisata lokal yang dahulu ramai tapi kini mati suri. Ia menyebut kawasan itu bisa jadi destinasi perkemahan keluarga dan komunitas jika ditata ulang.

“Bangun gazebo pinggir waduk untuk shelter pemancing, bikin pusat kuliner ikan air tawar, sediakan wahana air seperti kano atau perahu bebek. Jangan semua dibebankan ke pemerintah, tapi siapkan skema investasi komunitas,” kata Roy tegas.
Ia juga menyoroti soal harga produk desa yang justru lebih mahal dari luar. “Durian dan kelengkeng dari Tunjungan jangan lebih mahal dari yang dijual di kota. Kalau perlu jadikan pusat grosir buah desa agar harga tetap kompetitif. Kalau mau buka toko modern, jangan saingi warung warga. Jadilah distributor, bukan pesaing,” tegasnya memberi arah.
Budidaya Belut dan Cacing Jadi Usulan Serius
Sementara itu, usulan konkret datang dari Djoko Suwarno, Pemimpin Redaksi Warta Jateng, yang menekankan pentingnya pemberdayaan berbasis pertanian dan perikanan skala kecil yang bernilai ekonomi tinggi.
“Saya melihat Desa Tunjungan ini punya karakter alam yang cocok untuk budidaya belut, lele, gurami, dan pengolahan pupuk organik berbasis cacing. Ini bukan wacana, tapi bisa cuan dan mudah dijalankan warga,” ujar Djojo.

Ia menambahkan bahwa budidaya seperti ini tidak memerlukan lahan besar, bisa dilakukan oleh kelompok kecil, dan hasilnya bisa diolah langsung atau dijual ke pasar kota.
“Kuncinya di eksekusi dan pembinaan. Jangan hanya seminar dan diskusi. Kalau serius digerakkan, ini bisa jadi pengungkit ekonomi desa,” tegasnya.
Perkasa Tapi Masih Bingung
Rapat sinergitas ini memberi gambaran jelas tentang tantangan pembangunan desa pasca pencanangan program nasional. Kopdes masih mencari bentuk, Bumdes sudah berjalan tapi belum berlari. Potensi alam dan sosial sudah ada, namun belum ditopang dengan ekosistem manajerial, dukungan modal, dan keberanian bertindak yang terstruktur.
Desa Tunjungan yang memiliki motto “Tunjungan Perkasa” sebenarnya tidak kekurangan ide. Yang kurang adalah kejelasan desain usaha, peran negara yang lebih proaktif, serta kolaborasi lintas sektor yang menjamin keberlanjutan.
Seperti kata Kades Yasir: “Kami siap bergerak, tapi kami butuh teman yang berjalan bersama. Bukan penonton dari jauh.” tandasnya.
Kini, pertanyaan strategisnya bukan lagi apa yang akan dibuat? tetapi: “Siapa yang berani memulai, siapa yang bertanggung jawab, dan siapa yang memastikan ini semua berkelanjutan?” tambah Yasir Amma. (Red/@bangsar25)










Leave a Reply