
BLORA, SAPUJAGAD.NET — Pembangunan ruas jalan strategis Japah–Tunjungan semestinya membuka harapan baru bagi konektivitas wilayah.
Namun di balik geliat proyek besar itu, ada sisi gelap yang kini memancing keresahan warga dua desa—Kalangan dan Sambongrejo.

Di desa-desa inilah, jalan lingkungan yang semula aman dan layak, berubah menjadi titik kerusakan berat akibat hilir-mudik truk pengangkut material berbobot puluhan ton.
Pantauan lapangan menunjukkan sebagian besar kerusakan terjadi pada ruas yang tidak pernah dirancang untuk menanggung beban angkutan material skala proyek besar.
Jalan paving pecah, struktur ambles, dan beberapa titik nyaris tak bisa dilalui kendaraan roda dua, sebuah potret yang kontras dengan tujuan pembangunan infrastruktur yang mestinya menghadirkan manfaat, bukan petaka baru.
Kondisi ini diperparah oleh volume kendaraan proyek yang terus melintas tanpa pengaturan waktu, tanpa pembatasan tonase yang jelas, dan tanpa pengawasan yang memadai dari pihak pelaksana.
Warga menyebut situasi tersebut sebagai “pembangunan besar yang menghancurkan pembangunan kecil”—jalan kabupaten dibangun, jalan desa hancur.
Insiden Truk Terguling

Puncak keresahan terjadi sore kemarin ketika sebuah truk besar pengangkut material terguling di jalan desa Sambongrejo. Jalan yang sudah ambles tak mampu menahan beban, mengakibatkan kendaraan tumbang dan menutup akses warga selama beberapa waktu.
Beruntung tidak ada korban jiwa, namun kejadian ini menjadi alarm bahwa risiko keselamatan warga benar-benar nyata.
Sejumlah warga mengaku semakin khawatir untuk melintas, terutama anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang setiap hari menggunakan jalur tersebut. Reaksi spontan yang muncul: warga merasa “ditinggalkan” oleh pihak pelaksana yang dianggap abai terhadap dampak sosial proyek.
Kekhawatiran Warga Itu Nyata
Kepala Desa Sambongrejo, Siswadi, yang ditemui wartawan Sapujagad.Net di kantor desa, tidak menutup-nutupi situasi.
“Benar, ada keresahan warga. Jalan desa rusak karena dilewati truk berat pengangkut material proyek,” ujarnya dengan nada serius.
Sebagai Kepala Desa, ia menegaskan bahwa dirinya bertugas menjaga kondusivitas wilayah. Tetapi ia juga menegaskan perlunya kepastian dari pihak kontraktor.
“Saya belum tahu bagaimana komitmen pihak pelaksana untuk memperbaiki jalan yang rusak. Jangan sampai persoalan ini menimbulkan ekses yang lebih buruk, apalagi menyangkut keselamatan warga.”
Dalam konteks desa, pernyataan seorang kepala desa bukan sekadar keluhan, melainkan representasi suara kolektif masyarakat. Ada tekanan sosial, ada kekhawatiran, dan ada tanggung jawab moral yang harus ia emban.
Minim Koordinasi
Fakta di lapangan menunjukkan lemahnya koordinasi antara pelaksana proyek dan pemerintah desa. Idealnya, setiap proyek besar yang melewati desa harus disertai:
Kesepakatan tonase dan rute kendaraan berat. Komitmen perbaikan setelah masa konstruksi, Pengawasan tonase di titik masuk
Informasi kepada warga saat ada pergeseran rute, Penanganan cepat jika terjadi kerusakan parah
Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ada kejelasan yang diterima pihak desa mengenai kapan dan bagaimana perbaikan jalan desa akan dilaksanakan.
Warga Mendesak Tanggung Jawab
Beberapa warga yang ditemui mengungkapkan keresahan serupa. Mereka menilai pembangunan jalan utama Japah–Tunjungan penting, tetapi pelaksana proyek tidak boleh mengorbankan fasilitas desa dan keselamatan masyarakat.
Dari sisi regulasi, setiap proyek wajib melakukan mitigasi dampak lingkungan dan sosial, termasuk kerusakan infrastruktur akibat aktivitas proyek. Jika hal ini diabaikan, potensi konflik horizontal bisa muncul, apalagi jika masyarakat merasa lelah menanggung kerugian. (bangs@r/01)












Leave a Reply