Soliditas atau Konsolidasi Kekuasaan
JAKARTA, WJI.NETWORK – Dominasi 13 Kapolda lulusan Akpol 1991 yang merupakan satu angkatan dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali memunculkan kekhawatiran lama soal netralitas dan regenerasi di tubuh Polri.
Di saat publik mendesak reformasi struktural dan pembenahan institusi hukum, mutasi yang terkonsentrasi pada satu jejaring angkatan justru mengindikasikan potensi konsolidasi kekuasaan, bukan pembaruan. Apakah ini sekadar kebetulan karier, atau cermin sistem yang belum lepas dari praktik patronase dan loyalitas angkatan?
Dalam peta mutasi Polri terbaru April 2025, sorotan tajam publik tidak hanya tertuju pada pergantian posisi di tubuh kepolisian daerah, tetapi juga pada sebuah fakta mencolok: dari 36 Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) aktif di seluruh Indonesia, sebanyak 13 di antaranya adalah alumni Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan 1991—angkatan yang sama dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Fenomena ini menimbulkan beragam tafsir, mulai dari narasi soliditas angkatan hingga isu sentralisasi kekuasaan dalam tubuh Polri. Apakah ini semata kebetulan atau ada pola sistemik yang lebih besar?
Dari Aceh hingga Papua Barat Daya
Berikut daftar 13 Kapolda jebolan Akpol 1991 yang kini menempati posisi strategis di berbagai wilayah Indonesia:
• Irjen Pol Achmad Kartiko – Kapolda Aceh
• Irjen Pol Gatot Tri Suryanta – Kapolda Sumatera Barat
• Irjen Pol Krisno H. Siregar – Kapolda Jambi
• Irjen Pol Mardiyono – Kapolda Bengkulu
• Irjen Pol Andi Rian R. Djajadi – Kapolda Sumatera Selatan
• Irjen Pol Hendro Pandowo – Kapolda Bangka Belitung
• Irjen Pol Winarto – Kapolda Kalimantan Barat
• Irjen Pol Asep Edi Suheri – Kapolda Kalimantan Tengah
• Irjen Pol Imam Margono – Kapolda NTB
• Irjen Pol Jaya Subriyanto – Kapolda NTT
• Irjen Pol Toni Harmanto – Kapolda Sulawesi Selatan
• Irjen Pol Abdul Karim – Kapolda Sulawesi Tengah
• Brigjen Pol Gatot Haribowo – Kapolda Papua Barat Daya
•
Penempatan figur-figur ini mencerminkan besarnya kepercayaan institusi terhadap angkatan 1991, yang saat ini berada di puncak jenjang karier mereka menjelang masa pensiun dalam beberapa tahun ke depan.
Menguatkan atau Mengancam Netralitas?
Kedekatan personal antara Kapolri dan 13 Kapolda ini tidak bisa diabaikan. Dalam lembaga hirarkis seperti Polri, loyalitas dan jejaring angkatan sering kali menjadi faktor non-formal yang sangat memengaruhi dinamika internal.
Pakar hukum dan tata negara Prof. Zainal Arifin Mochtar menilai, “Soliditas angkatan memang penting, tetapi jika terlalu dominan, berpotensi mengikis objektivitas dan meritokrasi. Apalagi dalam institusi penegakan hukum, netralitas adalah harga mati…
Tantangan Mengawal Agenda Reformasi Polri
Kepemimpinan para alumni Akpol 1991 ini hadir di tengah tuntutan reformasi kelembagaan yang semakin keras. Isu-isu seperti dugaan kekerasan aparat, kriminalisasi sipil, dan konflik kepentingan dalam penegakan hukum belum surut dari sorotan publik.
Peneliti ICJR, Erasmus Napitupulu, menyebut bahwa mutasi yang didominasi satu angkatan menimbulkan pertanyaan tentang regenerasi dan diversifikasi kepemimpinan:
“Apakah regenerasi struktural benar-benar berjalan? Ataukah kita sedang melihat satu siklus angkatan menguasai semua titik strategis sebelum pensiun massal?” ujarnya.
Menakar Masa Depan Kepemimpinan Polri Pasca-1991
Dengan semakin dekatnya masa pensiun para alumni Akpol 1991, Polri menghadapi titik kritis: siapa yang akan mengisi ruang kosong pasca-angkatan 1991? Apakah ada mekanisme pengkaderan yang transparan dan berbasis kompetensi?
Kehadiran figur-figur kuat dari angkatan 1995 ke atas mulai dilirik. Namun, pengaruh senioritas dan budaya angkatan tetap menjadi batu uji bagi institusi ini untuk benar-benar membuka diri terhadap reformasi struktural
Momentum atau Monopoli?
Penempatan 13 Kapolda alumni Akpol 1991 bisa dilihat dari dua sisi: sebagai bentuk puncak prestasi dan soliditas internal, atau sebaliknya sebagai simtom dari sistem yang masih berorientasi pada kekuatan jaringan angkatan.
Apa pun interpretasinya, satu hal pasti: kepercayaan publik terhadap Polri tidak hanya ditentukan oleh loyalitas angkatan, tetapi oleh akuntabilitas, transparansi, dan keberpihakan pada keadilan.[01)
