ALARM ‘TAMLIL’ BUDE RINI

Itu tudingan langsung pada cara Blora mengelola ruang hidupnya sendiri: membiarkan tanah dikeruk, bukit dilukai, jalan rusak, sementara pendapatan daerah nyaris tidak merasakan apa-apa. Tambang non-minerba (galian C): pasir kuarsa, tanah urug, pasir dll sering dianggap “ringan”, seolah bukan ancaman serius seperti batubara atau emas.

Padahal riset di berbagai daerah menunjukkan pola kerusakan yang sama: longsor, banjir bandang, rusaknya area resapan, hingga turunnya kualitas air dan udara di sekitar lokasi penambangan.

Ketika bukit habis dikeruk, pohon hilang, dan bekas galian dibiarkan menganga tanpa reklamasi, yang ditinggalkan bukan kesejahteraan, melainkan biaya sosial yang harus ditanggung generasi berikutnya. Jalan desa yang hancur oleh truk bermuatan berlebih, sawah yang terendam saat hujan deras, permukiman yang tiba-tiba menjadi langganan banjir.

Di level nasional, Kementerian ESDM pernah mencatat 2.741 lokasi pertambangan tanpa izin (PETI) tersebar di berbagai daerah Indonesia. Presiden bahkan menyebut lebih dari seribu titik tambang ilegal dengan potensi kerugian negara minimal ratusan triliun rupiah.

Angka-angka ini menunjukkan satu hal: tambang ilegal bukan pengecualian, tetapi gejala dari sistem yang membiarkan pelanggaran menjadi kebiasaan. Jika pola nasional itu ditarik ke Blora, maka kekhawatiran Bude Rini soal “bencana lingkungan untuk anak cucu” bukan berlebihan. Itu peringatan dini.

Ironi Blora

Apa yang disampaikan Ketua DPD APTI Blora, Supriyono, menelanjangi ironi yang sudah lama dibicarakan di warung kopi, tetapi jarang diakui secara terbuka oleh pemerintah daerah. Aktivitas penggalian pasir kuarsa, tanah urug, batu, dan pasir terus berjalan di banyak titi, Ngampel, Jepon, Japah, Kunduran, Bogorejo, dan kecamatan lain.

Alat berat naik-turun, truk keluar-masuk. Tetapi karena Perda RT-RW Blora tidak secara jelas membuka zonasi tambang galian C, izin produksi tidak bisa diterbitkan. Akibatnya, tambang tetap berjalan, tapi semuanya berstatus ilegal.

Tidak ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau SIPB yang sah, tidak ada dasar untuk pemungutan pajak dan retribusi yang layak. Pendapatan Asli Daerah tidak bertambah, sementara kerusakan lingkungan dan jalan justru ditanggung masyarakat dan pemerintah desa.

Inilah yang seharusnya membuat Blora merasa malu: daerah kaya material bangunan, tetapi miskin keberanian politik untuk menata. Supriyono menyebut dengan gamblang, “Tambang tetap jalan, tapi semua ilegal. Tidak ada retribusi, tidak ada pajak masuk ke PAD. Sementara masyarakat dan pemerintah desa hanya jadi penonton.” Itu kalimat yang seharusnya mengguncang DPRD dan eksekutif.

Tak Sembunyi

APTI sudah lebih dari dua tahun mendorong revisi Perda RT-RW Blora agar zonasi tambang galian C masuk secara eksplisit. Tujuannya jelas: membuka ruang legal bagi penambangan non-minerba, agar pelaku usaha bisa mengurus perizinan secara resmi, berbasis sistem OSS-RBA, dengan kewajiban lingkungan yang jelas.

Di Jawa Tengah, Gubernur sendiri mengakui bahwa banyak tambang galian C tidak berizin; hanya sekitar 30 persen yang legal.. Jika provinsi saja mengakui fakta ini, hampir mustahil Blora berada dalam posisi “lebih bersih” tanpa langkah konkret.

Di sisi lain, kewenangan perizinan mineral nonlogam dan batuan (jenis galian C) juga sedang berubah arah. Ada dorongan agar izin komoditas tertentu ditarik ke pusat, sementara sebagian tetap di daerah. Namun apa pun desain kewenangan ke depan, satu hal tidak berubah: tanpa tata ruang yang jelas di RT-RW, izin apa pun akan selalu tersandera.

Artinya, Blora tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan “masa transisi kewenangan”. RT-RW adalah produk politik lokal. Jika zonasi tambang dibiarkan abu-abu, maka lahirlah praktik tambang abu-abu—legal di mulut, ilegal di atas kertas, tapi sangat nyata di lapangan.

Pembersihan ‘Mata-mata

Secara nasional, data menunjukkan upaya penindakan memang berjalan: dari 2023–2025, Bareskrim menindak lebih dari seratus tambang ilegal, sementara di level Polda ada lebih dari seribu perkara tambang tanpa izin yang diproses.. Namun lembaga lingkungan dan jaringan masyarakat sipil mengingatkan, banyak tambang ilegal diduga mendapat “beking” dari oknum aparat, politisi, dan tokoh lokal..

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pun, dalam beberapa pernyataannya, menegaskan komitmen penertiban tambang ilegal tanpa izin kawasan hutan maupun tanpa IUP, dan menjanjikan penegakan hukum tanpa pandang bulu sesuai arahan Presiden..

Di titik inilah pernyataan Wabup Blora menjadi krusial. Ketika Bude Rini meminta warga memerangi dan melaporkan tambang ilegal, ia sebenarnya sedang mengajak publik memutar kemudi: dari budaya “diam dan menikmati debu” menjadi budaya melapor dan menolak.

Tetapi ajakan melapor akan lumpuh jika: Aparat penegak hukum hanya berani menyentuh operator kecil, bukan cukong dan jaringan di belakangnya. Pemerintah daerah sendiri masih menutup mata ketika proyek pemerintah menggunakan material dari sumber yang tidak jelas legalitasnya.

DPRD sibuk berdebat soal hal-hal kecil, tetapi menunda pembahasan RT-RW yang justru menentukan masa depan ruang hidup Blora.

Tak Ditunda

Jika Blora sungguh ingin keluar dari jebakan tambang ilegal non-minerba, ada tiga agenda yang tidak bisa terus ditunda: Revisi Perda RT-RW dengan keberanian, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Zonasi tambang galian C harus masuk secara jelas, dengan batasan yang tegas, berbasis kajian lingkungan dan aspirasi warga terdampak. Tanpa itu, pembicaraan soal “legalisasi tambang rakyat” hanya jargon.

Penegakan hukum yang menyasar otak, bukan hanya tangan. Aparat penegak hukum harus membuktikan bahwa tidak ada “wilayah steril” dari hukum. Penindakan harus menyentuh aktor finansial, cukong, dan jaringan yang selama ini bersembunyi di balik bendera proyek atau kedekatan politik.

Transparansi data dan pelibatan publik : Daftar IUP, SIPB, lokasi tambang resmi, rute angkutan, hingga kewajiban reklamasi semestinya bisa diakses publik secara daring. Warga dan media membutuhkan data untuk mengawasi, bukan hanya imbauan moral.

Pada akhirnya, isu tambang ilegal non-minerba bukan hanya soal izin dan galian. Ini cermin keberanian politik sebuah daerah. Wakil Bupati sudah berani mengucapkan kalimat keras. APTI sudah mengangkat tangan meminta regulasi yang jelas. Warga sudah terlalu lama merasakan debu, jalan berlobang, dan ancaman bencana.

Sekarang bola ada di tangan dua institusi: Pemerintah Kabupaten dan DPRD Blora. Mereka yang memegang pena untuk merevisi RT-RW. Mereka yang memegang kendali untuk menjadikan perang terhadap tambang ilegal bukan sekadar slogan, tetapi kebijakan nyata.

Blora harus memilih: Tetap menjadi daerah abu-abu yang nyaman bagi tambang ilegal, atau berdiri sebagai kabupaten yang berani menertibkan ruang, menegakkan hukum, dan jujur pada generasi yang akan mewarisi tanah ini.

Jika pilihan kedua tidak segera diambil, maka tambang ilegal hari ini akan berubah menjadi prasasti besok: monumen ketakutan politik yang akan dibaca anak cucu sebagai bukti bahwa pada satu masa, Blora tahu sedang dalam bahaya, tetapi memilih diam. (@bangsar25)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *