Oleh : Umar Syahid, SE.SH.MM
Skandal Pertamax oplosan bukan semata soal pencampuran bahan bakar, melainkan kegagalan sistemik dalam tata kelola energi nasional.
Ketika komoditas strategis seperti BBM dimanipulasi, dan konsumen dibiarkan tanpa perlindungan, ini bukan sekadar kelalaian—ini adalah pengkhianatan.
Sudah saatnya negara turun tangan dengan keberpihakan nyata, memastikan keadilan distribusi energi, dan menjadikan konsumen sebagai pusat dari setiap kebijakan publik.

Kasus “Pertamax oplosan” yang mengemuka dalam beberapa bulan terakhir bukan sekadar persoalan teknis pencampuran BBM. Ini adalah gejala dari sistem tata niaga energi yang permisif, tidak transparan, dan minim akuntabilitas.
Jika benar bahwa BBM beroktan rendah dicampur dan dijual sebagai Pertamax, maka yang dirugikan bukan hanya negara, tetapi konsumen secara langsung—mesin mereka, hak mereka, dan kepercayaan mereka.
Sebagai praktisi di sektor energi dan perlindungan konsumen, saya melihat dua hal pokok: lemahnya pengawasan dan nihilnya keterlibatan publik dalam sistem distribusi energi yang sejatinya bersifat strategis dan vital.
Komoditas Strategis yang Terlupakan
BBM bukan komoditas biasa. Ia menyangkut mobilitas, logistik, dan stabilitas ekonomi. Namun, dalam kasus ini, seolah-olah komoditas strategis ini diperlakukan secara serampangan.
Dugaan bahwa RON 90 dioplos lalu dijual sebagai RON 92 adalah preseden buruk—dan tidak boleh terjadi dalam sistem yang sehat.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa dugaan ini terjadi selama bertahun-tahun (2018–2023) dengan nilai kerugian mencapai Rp193,7 triliun.
Ini bukan kesalahan operasional, ini skema bisnis yang perlu diaudit secara menyeluruh oleh lembaga independen.
Dirugikan dan Dikhianati
Produk yang dijual kepada publik harus sesuai spesifikasi. Ketika konsumen membeli Pertamax, mereka membeli janji atas kualitas tertentu. Ketika kualitas itu tidak sesuai, mereka bukan hanya mengalami kerugian finansial—mereka sedang ditipu.
Lalu, di mana peran negara? Di mana fungsi pengawasan Kementerian ESDM, Dirjen Migas, dan lembaga pengendali mutu? Jika lembaga-lembaga ini membiarkan pengoplosan masif selama lima tahun, maka sudah saatnya kita meninjau ulang peran dan efektivitasnya.
Saatnya Audit Menyeluruh dan Transparansi Publik
Saya mengusulkan: Audit independen terhadap seluruh produk BBM nonsubsidi dan subsidi yang beredar di Indonesia.
Transparansi hasil uji mutu BBM oleh lembaga publik, disiarkan secara berkala.
Kebijakan class action dibuka bagi konsumen yang merasa dirugikan akibat performa kendaraan yang terganggu karena BBM berkualitas buruk.
Evaluasi ulang sistem blending dan distribusi BBM di seluruh terminal.
Dikelola dengan Etika dan Integritas
Energi adalah darah kehidupan negara modern. Menipiskan kualitasnya untuk mencari margin keuntungan adalah kejahatan terhadap publik. Pemerintah harus menjawab ini dengan langkah korektif, bukan sekadar defensif.
Jika kasus ini dibiarkan berlalu tanpa pembenahan menyeluruh, maka skandal serupa akan kembali terjadi dengan wajah berbeda.(01)
#Penulis adalah Ketua Umum YLKAI
