Catatan : ForMed JMSB
KETIKA izin pinjaman belum turun, proyek jalan di Blora tetap dipacu dengan lelang dan kontrak kerja. Praktik ini tak hanya nekat, tapi juga membuka ruang penyimpangan. Pertanyaan publik makin keras: hukum ditegakkan atau dikorbankan demi ambisi proyek raksasa?
Kabar bahwa dana pinjaman daerah senilai Rp 215 miliar dari Bank Jateng untuk proyek infrastruktur Blora belum cair menimbulkan tanda tanya besar, sekaligus kegelisahan publik. Bagaimana mungkin sejumlah proyek jalan bernilai ratusan miliar sudah melalui tahapan lelang, bahkan kontrak kerja, sementara landasan keuangan belum mendapat restu final dari Kementerian Keuangan?
Secara hukum, prosedur pelaksanaan proyek pembangunan dengan dana pinjaman baru bisa berjalan setelah ada kepastian pencairan. Jika kontrak sudah diteken, maka ada indikasi tahapan administrasi dilewati secara terburu-buru. Hal ini tidak hanya membuka celah maladministrasi, tetapi juga menimbulkan risiko hukum serius bagi pihak-pihak terkait: mulai dari pejabat pembuat komitmen, panitia lelang, hingga kontraktor pelaksana.
Pernyataan Sekda Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, yang meminta Pemkab Blora menghentikan pekerjaan sebelum izin cair, memperkuat sinyal adanya langkah tergesa dan tidak taat prosedur. Jika benar demikian, publik berhak bertanya: sejauh mana Pemprov menerima pelaporan detail dari Pemkab Blora tentang mekanisme pembiayaan proyek-proyek raksasa tersebut?
Jejak Kontraktor Lama dan Pola Politik Lokal
Di balik proyek-proyek infrastruktur besar, tersiar kabar bahwa pemenang lelang masih didominasi kontraktor lama yang sudah bertahun-tahun menjadi langganan. Dugaan keterkaitan jaringan kontraktor dengan pekerja politik dan pemerintahan setempat semakin menebalkan kecurigaan publik. Dalam logika sederhana, proyek bernilai ratusan miliar semestinya membuka kompetisi sehat, bukan hanya melanggengkan dominasi pemain lama.
Jika benar ada koneksi politik dalam pusaran ini, maka keterlambatan pencairan dana pinjaman bisa menjadi momentum untuk mengungkap peta relasi kepentingan yang selama ini membayangi proyek-proyek besar di Blora.
Rumor vs Klarifikasi
Bupati Blora, Arief Rohman, telah menepis isu bahwa pinjaman daerah bermasalah. Ia menegaskan nominal Rp 215 miliar tetap utuh, hanya menunggu izin formal Kemenkeu sebelum dana masuk ke kas daerah. Pernyataan itu tentu penting untuk meredam spekulasi, tetapi tidak cukup menjawab kerisauan publik soal proyek yang sudah dilelang.
Apalagi rumor yang berkembang bukan sekadar soal jumlah dana, melainkan tentang bagaimana prosedur dijalankan dan siapa yang diuntungkan dari proses yang terkesan buru-buru.
Bagi Forum Pemred JMSB (Jaringan Media Siber Blora), keterlambatan pencairan dana ini harus menjadi momentum evaluasi menyeluruh. Ada tiga catatan krusial:
Yang pertama Aspek Hukum dan Prosedur : Proyek tidak boleh dijalankan sebelum dana sah tersedia. Jika tahapan dilewati, maka ada pelanggaran administrasi yang harus ditindaklanjuti oleh aparat pengawas.
Kedua : Transparansi Pemenang Lelang. Pemkab harus membuka data siapa saja kontraktor pemenang, nilai kontrak, dan rekam jejaknya. Publik berhak tahu apakah proyek bernilai ratusan miliar ini dikelola dengan prinsip fair dan transparan.
Ketiga : Integritas Pemerintahan Daerah : Jika branding Blora sebagai daerah yang sedang bangkit ingin dipercaya, maka praktek “business as usual” dalam proyek infrastruktur harus dihentikan. Kejelasan prosedur, akuntabilitas keuangan, dan keterbukaan informasi publik adalah harga mati.
Tertundanya pencairan dana pinjaman Rp 215 miliar bukan sekadar masalah teknis. Ia adalah cermin: apakah Blora sungguh siap membangun dengan tata kelola yang bersih, atau kembali terjebak dalam pola lama di mana proyek besar hanya jadi panggung segelintir elite dan kontraktor langganan. (red/01)
Leave a Reply