Suratin/ Wartawan WJI Brebes
BREBES, WJI.NETWORK– Di negeri yang mengklaim Universal Health Coverage, seorang balita 2,5 tahun harus meregang nyawa karena tak memiliki BPJS Kesehatan.
Kenichi Keichirou Seiichi Ali, warga Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes, meninggal dunia setelah melalui serangkaian prosedur rumit yang tak mampu menjamin satu hal paling dasar: hak untuk hidup.
Di tengah malam yang sunyi, RS Hermina Purwokerto menjadi saksi bisu akhir hayat Kenichi.
Anak dari pasangan Ali Pranoto dan Fitri Maria Ulfa ini mengembuskan napas terakhir pada pukul 00.40 WIB, Selasa 29 April 2025, setelah mengalami batuk dan kejang.
Namun lebih menyakitkan dari sakitnya adalah kenyataan bahwa ia datang ke rumah sakit sebagai pasien umum, tanpa jaminan sosial apapun.
“Saya bingung. Mau bawa anak ke rumah sakit tapi tak punya BPJS. Akhirnya saya bawa saja, demi keselamatan anak saya,” ucap Ali Pranoto saat ditemui, suaranya nyaris tenggelam dalam penyesalan.
Kisah ini bukan sekadar tragedi keluarga. Ia adalah cermin retak sistem jaminan kesehatan kita. Ketika warga miskin dihadapkan pada dua pilihan yang sama buruknya—tidak berobat atau berobat tapi menanggung beban biaya yang tak sanggup dibayar—maka kemiskinan berubah menjadi kutukan mematikan.
Dokumen yang Tak Pernah Sampai
Menurut Sodiqoh (40), seorang relawan sosial yang berusaha membantu keluarga Kenichi, ia sempat mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dan pendaftaran BPJS.
Namun semuanya terhenti di tengah jalan. “SKTM sudah tidak bisa dibuat, katanya pemerintah desa tidak lagi punya anggaran Jamkesda.
BPJS juga belum aktif karena prosesnya tidak bisa instan,” katanya saat mengikuti aksi solidaritas di depan Kantor Pemerintahan Terpadu (KPT) Brebes.
Apa yang dihadapi Sodiqoh menguatkan satu hal: akses layanan kesehatan bagi warga miskin saat ini tidak hanya terbatas, tapi nyaris mustahil dilakukan dalam kondisi darurat.
Dibebani Birokrasi, Dipangkas Harapan
Ironis, ketika nyawa bergantung pada detik, prosedur justru masih bertumpu pada pengantar, surat, dan sistem yang lamban.
Sekretaris Desa Pangebatan, Agus Supriyanto, saat dikonfirmasi, bahkan mengaku belum tahu adanya balita yang meninggal karena tidak memiliki BPJS.
“Saya belum tahu soal itu. Tapi memang sekarang tidak ada lagi program SKTM, karena katanya anggaran Jamkesda tidak tersedia,” ujarnya singkat.
Pengakuan ini menunjukkan tak hanya sistem yang tidak siaga, tetapi juga pemerintah desa yang gagal menjalankan fungsi responsif terhadap kasus warganya sendiri.
Potret Gagalnya Sistemik: Dari Desa ke Rumah Sakit
Kematian Kenichi seharusnya menjadi alarm nasional. Bukan semata soal satu nyawa, tapi tentang bagaimana sistem jaminan sosial gagal menjalankan mandatnya di akar rumput.
Ketika seorang pekerja sosial harus berdiri di jalan menyuarakan aspirasi keluarga miskin karena tak ada mekanisme cepat tanggap, itu artinya kita sudah melampaui krisis teknis—ini kegagalan moral.
“Ini bukan sekadar anak meninggal. Ini nyawa yang dibiarkan tergantung pada birokrasi, bukan pada kemanusiaan,” ujar Sodiqoh lantang dalam aksi unjuk rasa.
Kenichi bukan angka. Ia adalah wajah dari ribuan warga miskin yang tidak tercatat, tidak terakses, dan tidak tertolong.
Ketika negara membanggakan sistem jaminan kesehatan universal, tetapi satu balita pun tak bisa diselamatkan karena tak punya kartu BPJS—maka yang mati bukan hanya seorang anak, tapi juga nurani kita sebagai bangsa. (01)
