‘KESIAPAN’ Tambang Ilegal

ADA yang retak di Bumi Samin. Di satu sisi, Wakil Bupati Blora Sri Setyorini (Bude Rini) bersuara lantang memerangi tambang non minerba ilegal (galian C )yang merusak lingkungan dan tidak menyumbang sepeser pun PAD, sebagai sebuah ketegasan yang selama ini nyaris tak pernah keluar dari mulut birokrasi Blora dan layak diapresiasi.

Namun di sisi lain, kenyataan di lapangan menampar balik: nyaris semua tambang non mineral di Blora tak memiliki IUP produksi, alias ilegal, sementara kabupaten ini justru tengah panen proyek infrastruktur yang diam-diam tetap bergantung pada pasokan material dari tambang-tambang tanpa izin.

Dalam ironi seperti ini, sindiran para pelaku tambang bahwa mereka “siap memasok material proyek negara meski tetap dicap ilegal” bukan terasa satir, tetapi cermin telanjang cara Blora mengelola ruang hidup dan kebijakan tambangnya sendiri.

Pernyataan Bude Rini memecah opini publik. Sebagian memberi dukungan penuh: akhirnya ada pejabat yang berani menyebut tambang ilegal sebagai ancaman nyata bagi lingkungan dan masa depan anak cucu.

Sebagian lain mengangkat alis, bagaimana mungkin pemerintah menyerukan perang terhadap tambang ilegal, sementara hampir semua rantai pasok material di Blora justru bersandar pada tambang-tambang tanpa izin itu sendiri.

Di Ngampel, Jepon, Japah, Kunduran, Bogorejo, dan sejumlah titik lain, aktivitas penggalian pasir kuarsa, tanah urug, batu, dan pasir berjalan nyaris tanpa jeda. Alat berat bekerja, truk lalu-lalang, bukit terkikis pelan-pelan. Tetapi dari sudut pandang hukum, semua itu seperti tidak ada.

Tidak ada IUP Produksi, tidak ada SIPB yang sah, tidak ada dasar kuat untuk memungut pajak dan retribusi. Yang mengalir deras adalah material untuk proyek-proyek fisik; yang mandek justru PAD dan kepastian hukum.

Di permukaan, Blora tampak sibuk membangun: jalan diperlebar, jembatan diperbaiki, talud diperkuat, proyek APBN dan APBD masuk. Namun jika jejak materialnya ditelusuri, pertanyaannya menjadi tajam: berapa banyak bangunan yang berdiri di atas pasir dan batu yang secara hukum berstatus ilegal?

Ikut ‘Menikmati’

Tambang ilegal sering dibayangkan sebagai aktivitas “di luar sistem” yang merugikan negara. Kenyataannya, di Blora, negara ikut menikmati kenyamanan dari keberadaan mereka.

Proyek-proyek infrastruktur butuh pasokan material dalam jumlah besar dengan harga kompetitif. Tambang yang tidak berizin, tanpa kewajiban pajak dan kewajiban reklamasi yang jelas, mampu menyuplai dengan cepat dan murah.

Rantai ini membuat semua pihak merasa diuntungkan seperti : kontraktor mendapat material terjangkau, proyek bisa selesai, pemerintah dapat memotong pita peresmian.

Sementara kerusakan lingkungan, jalan yang hancur, dan resiko bencana dibiarkan sebagai “biaya sampingan” yang tidak tercatat di dokumen proyek.

Di sini letak masalah paling serius: tambang ilegal bertahan bukan hanya karena “nakalnya” pelaku di lapangan, tetapi karena adanya kebutuhan sistemik yang dibiarkan tanpa solusi legal yang jelas.

‘Kepura-puraan’ Regulatif.

Supriyono, Ketua DPD APTI (Asosiasi Pengusaha Tambang Indonesia)Blora, sudah lama mengingatkan bahwa akar masalahnya ada pada kebijakan tata ruang. Perda RT-RW Blora tidak menyediakan zonasi jelas untuk tambang galian C.

Akibatnya: izin produksi tidak bisa diterbitkan, pengusaha tambang tidak punya pintu legal untuk mengurus perizinan, pemerintah daerah berdiri di wilayah abu-abu: secara formal melarang, tetapi secara faktual membiarkan aktivitas berjalan.

Inilah kepura-puraan regulatif yang selama ini menjerat Blora. Pemerintah bisa berkelit dengan kalimat “tidak ada izin, berarti ilegal”, sementara pada saat yang sama proyek-proyek resmi terus menghisap pasokan dari sumber yang sama.

Di titik ini, pernyataan keras Bude Rini menjadi ujian. Jika kalimat “tambang ilegal mewariskan bencana lingkungan bagi anak cucu” hanya berhenti sebagai slogan, maka Blora sekadar menambah satu arsip pidato tanpa mengubah apapun.

Keberanian yang dibutuhkan bukan keberanian berpidato, tetapi keberanian untuk: mengakui bahwa RT-RW memang bermasalah, membuka ruang revisi secara jujur dan transparan dan siap menanggung risiko politik ketika tambang yang selama ini “dibutuhkan” mulai ditertibkan.

Jadi Peluang

Meski wajah sekarang suram, sektor non minerba di Blora sebenarnya menyimpan peluang besar, bukan hanya sebagai sumber material, tetapi sebagai sumber PAD dan pembiayaan pembangunan desa jika dikelola dengan kepala dingin dan aturan yang jelas.

Beberapa langkah kunci dapat menjadi pintu perubahan: Revisi RT-RW yang Berbasis Data, Bukan Titipan Kepentingan. Blora membutuhkan peta zonasi tambang yang jujur: area mana yang masih aman ditambang, mana yang harus dilindungi, mana yang sudah terlanjur rusak dan perlu direstorasi.

Proses ini tidak bisa dilakukan di ruang tertutup. Harus melibatkan warga desa, pemerhati lingkungan, pelaku usaha, dan kalangan ahli, agar hasilnya tidak sekadar melegalkan apa yang sudah terjadi, tetapi mengarahkan masa depan.

Legalitas Bertingkat dengan Syarat Lingkungan yang Keras. Tambang yang ingin “naik kelas” menjadi legal harus siap memenuhi standar: dokumen lingkungan yang jelas, rencana reklamasi, kontribusi untuk perbaikan jalan, dan transparansi produksi. Legalitas bukan sekadar stempel, tetapi kontrak sosial bahwa keuntungan ekonomi tidak dibayar dengan keruntuhan ekologis.

Penegakan Hukum Setelah Pintu Legal Dibuka. Setelah jalur izin tersedia dan zonasi jelas, tidak ada lagi alasan membiarkan tambang di luar zona tetap beroperasi. Aparat penegak hukum dan pemerintah daerah harus konsisten. Kalau tidak, legalitas hanya menjadi topeng baru bagi sebagian pemain, sementara praktik lama tetap berjalan.

Transparansi PAD dan Manfaat Nyata bagi Desa. Masyarakat akan menilai keadilan tambang dari dua hal: seberapa sedikit kerusakan yang ditimbulkannya, dan seberapa nyata manfaat yang kembali ke desa. Blora perlu menjelaskan secara terbuka: berapa target PAD dari tambang, dipakai untuk apa, dan bagaimana desa sekitar tambang mendapat bagian yang layak.

Pernyataan Bude Rini telah menarik garis. Di satu sisi garis, ada keberanian untuk menyebut tambang ilegal sebagai ancaman dan sumber bencana lingkungan bagi generasi mendatang. Di sisi lain garis, ada kenyataan bahwa selama RT-RW tidak dibenahi dan zonasi tidak dibuka secara jujur, Blora akan terus hidup dari material yang secara hukum “haram”, sambil berpura-pura mengecamnya. (@bangsar25)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *