Liputan : Wartawan WJI Tegal
TEGAL, WJI.NETWORK : Desa Kalisoka kini tak lagi tenang. Di balik rerimbunan pedesaan Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal, ribuan lalat menyerbu rumah warga, hinggap di makanan, minuman, bahkan pakaian yang dijemur. Warga mengeluh, marah, dan bersiap turun ke jalan.
Penyebabnya diduga kombinasi dua bom waktu lingkungan: peternakan ayam dan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) liar berbayar yang dikelola tidak profesional.
“Sudah tak bisa didiamkan lagi”
Di RW 04, situasi disebut sudah darurat. Kamar tidur tak lagi aman, dapur menjadi markas lalat, dan penyakit mulai mengancam.
Kegeraman warga meledak dalam forum musyawarah darurat yang diadakan di mushola Darul Al Taqwa, Sabtu malam (19/4), dihadiri ratusan warga dari enam RW. Kata-kata tajam mewarnai forum.
“Kalau begini terus, anak-anak kami bisa sakit. Kami enggak butuh janji, kami butuh tindakan. Tutup kandang ayam itu!” teriak seorang ibu dalam forum, nyaris menangis.
Musyawarah Panas, Suara “Bakar!” Menggema
Forum yang awalnya dimaksudkan sebagai ruang solusi justru sempat berubah menjadi ajang pelampiasan kemarahan. Teriakan “Bakar saja kalau tidak ditutup!” terdengar beberapa kali, memaksa Ketua RW Mohammad Sofi dan tokoh agama Mohammad Hasyim untuk menenangkan suasana.
“Kita bukan bangsa barbar. Tapi rakyat punya hak untuk bicara. Dan malam ini rakyat bicara bahwa mereka sudah terlalu lama diam,” kata Hasyim dengan suara bergetar.
Pertemuan itu menghadirkan Kepala Desa Kalisoka Ahmad Dumeri, SH., pengusaha kandang ayam Imron dan Agus, Ketua BPD Nur Halim SPd., serta sejumlah tokoh masyarakat. Kades dalam pernyataannya mengakui skala keresahan warga.
“Kami akui, ini sudah di luar batas normal. Kami minta pengusaha segera ubah kandang menjadi close house untuk minimalisir dampak,” ujar Kades Dumeri.
Namun narasi itu tak menenangkan semua pihak. Justru muncul kecurigaan tentang keterlibatan diam-diam antara pihak desa dan pengusaha kandang.
“Siapa yang kumpulkan warga? Bukan Pemdes, tapi tokoh masyarakat.”
Kritik paling tajam datang dari warga yang kecewa mengapa bukan pemerintah desa yang pertama kali menginisiasi musyawarah.
“Kenapa warga dikumpulkan oleh tokoh masyarakat, bukan Pemdes? Jangan-jangan sudah ada main mata dengan pengusaha,” tuding seorang tokoh pemuda yang menolak disebutkan namanya.
Kekecewaan juga disampaikan mantan Ketua RT yang diberhentikan Kepala Desa. Ia menilai Pemdes gagal melindungi rakyat.
“Kalau kepala desa tidak bisa lindungi warganya, ya kami yang lindungi diri kami. Kami siap demo!” tegasnya.
Sampah Menggunung, TPS Liar Berbayar Disorot
Masalah lain yang memperparah situasi adalah TPS liar yang disebut-sebut sebagai tempat pembuangan sampah dari desa-desa sekitar, dengan tarif Rp 75.000 per Tosa.
Sayangnya, pengelolaan sampah dilakukan secara asal-asalan hingga sampah menggunung di pinggir desa.
“Desa kami ini bukan TPA regional! Ini sudah jadi ladang lalat. Yang jadi korban? Kami!” ucap warga lain dalam forum.
Kesepakatan Setengah Hati
Musyawarah akhirnya menghasilkan sebuah “kesepakatan darurat”. Peternakan ayam akan berhenti sementara usai panen, dan kandang ayam akan diubah menjadi semi close house. Namun pelaksanaannya masih menunggu persetujuan warga sekitar. Tidak ada batas waktu. Tidak ada jaminan.
“Kesepakatan ini hanya solusi setengah. Kalau tak dipenuhi, kami akan turun aksi,” kata tokoh pemuda saat forum ditutup. (Znl/O1)
