Redaksi

KETEGASAN yang TAK KUNJUNG DATANG

”Ketika Jalan Jadi Ladang Pisang: Suara Protes dari Jiken Blora”

Redaksi : Sapujagad.net

Di tengah geliat pembangunan dan jargon ketahanan infrastruktur yang kerap digembar-gemborkan, ada realitas yang tak bisa ditutupi dengan baliho pencitraan: jalan rusak yang menganga di depan mata warga Jiken, Blora. Tepatnya di antara Desa Cabak menuju Nglebur, Janjang, dan Bleboh, jalan penghubung antar desa yang seharusnya menjadi penggerak roda ekonomi justru berubah menjadi lahan protes—secara harfiah—dengan ditanaminya pohon pisang oleh warga.

Ini bukan sekadar aksi spontan. Ini adalah cermin dari kemuakan yang terakumulasi selama bertahun-tahun. Janji-janji yang berulang, tanpa wujud nyata di lapangan, telah melahirkan satire kolektif yang tajam. Warga menyindir Pemerintah Kabupaten Blora dengan kalimat telak: “Kami mendukung ketahanan pangan nasional dengan berkebun pisang di jalan rusak.” Ironi yang terlalu menyakitkan untuk ditertawakan, namun terlalu cerdas untuk diabaikan.

Apa yang dilakukan warga Jiken bukan sekadar ekspresi kekecewaan. Ini adalah kritik sosial yang kreatif, damai, namun mengandung pesan yang menggigit: “Kami sudah terlalu sering dijanjikan, dan terlalu sering dikecewakan.” Maka tak heran jika suara di lapangan bergema tegas: “Kalau tidak dibangun, akan kami tanami lebih banyak pisang.”

Di sinilah terlihat betapa ambigunya sikap Pemkab Blora. Di satu sisi, mereka mengklaim komitmen untuk pembangunan dan pemerataan, namun di sisi lain, fakta-fakta di lapangan bicara sebaliknya. Tidak ada satu pun plang proyek, tidak ada alat berat, tidak ada aktivitas penanganan darurat. Yang ada hanyalah diam yang menyakitkan.

Pertanyaannya sederhana namun menyayat: Apakah warga harus terus menanam pisang agar didengar?

Wakil Rakyat Kemana Suara Mereka?

Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat adalah jembatan aspirasi. Namun dalam kasus jalan rusak Jiken, keheningan para anggota DPRD dari Dapil Jiken, Sambong, dan Cepu terasa memekakkan telinga. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada pernyataan tegas dari mereka yang seharusnya paling responsif terhadap jeritan konstituennya.

Beberapa warga menyebut, saat masa kampanye lalu, sejumlah wakil rakyat sempat menjanjikan perbaikan jalan ini sebagai prioritas. Kini setelah duduk di kursi empuk dewan, janji itu seperti hilang tertiup angin panas Blora.

“Saat pemilu, mereka datang bawa janji. Tapi setelah terpilih, jalan ini tetap berlubang, dan mereka pun menghilang,” sindir salah seorang, warga Desa Nglebur, dalam nada kecewa.

Padahal, sebagai representasi daerah pemilihan (dapil) yang mencakup wilayah-wilayah terdampak langsung, para wakil rakyat seharusnya menjadi pihak pertama yang bersuara, mendorong penganggaran, bahkan jika perlu—turun langsung melihat kondisi jalan bersama masyarakat. Bukan hanya hadir saat peresmian, tapi juga ketika rakyat menjerit.

Bukan Berdasarkan Panggung

Pembangunan infrastruktur tak boleh selektif. Ia tak bisa hanya mengejar pusat-pusat kota, atau wilayah yang dianggap “strategis” secara politis. Jalan antar desa seperti Cabak – Nglebur – Janjang – Bleboh adalah nadi kehidupan, akses pendidikan, jalur distribusi hasil tani, dan jantung konektivitas masyarakat akar rumput. Mengabaikannya sama saja dengan memotong denyut nadi rakyat.

Warga Jiken tak meminta yang muluk. Mereka tak menuntut jembatan emas atau jalan tol bertingkat. Mereka hanya ingin hak dasar: jalan yang layak, aman, dan manusiawi.

Kini, bola panas ada di tangan dua pihak: Pemkab Blora dan para wakil rakyat dari dapil setempat. Apakah mereka akan menjawab protes ini dengan tindakan nyata, atau membiarkan pisang-pisang itu tumbuh dan menjalar menjadi simbol kekecewaan yang makin subur?

Tulisan ini bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan. Pemerintah tidak seharusnya baru bergerak setelah ada tekanan publik. Pemimpin yang sejati adalah mereka yang hadir sebelum dipanggil. Warga Jiken telah menyuarakan dengan cara yang damai, satir, dan menyentuh. Kini giliran Pemkab Blora dan wakil rakyatnya untuk membuktikan bahwa mereka masih layak dipercaya.

Karena jika jalan tetap rusak, dan warga terus menanam, jangan salahkan jika suatu saat nanti, pisang-pisang itu tumbuh lebih subur dari kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. (*)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

DITERBITKAN : PT Java Indo, AHU. 0109728.AH.01.11 Tahun 2020

Copyright © 2024 Sapujagad.net

To Top